Senin, 01 April 2013
Cerpen
: Venda Intan Pratama ( @vendaintan )
JUARA I - LOMBA SEPTEMBER di EKC
(ngelanjutin novel mbak Esti Kinasih dengan versi sendiri dalam bentuk cerpen)
(ngelanjutin novel mbak Esti Kinasih dengan versi sendiri dalam bentuk cerpen)
LANJUTAN JINGGA DALAM
ELEGI
Saat mendengar peringatan dari Ata
yang notabane adalah saudara kembar Ari pagi itu, hidup Tari semakin tidak
tenang. Tari memang tak menceritakan prihal kedatangan Ata pada Ari, tetapi
Tari menceritakannya pada Fio yang tak lain dan tak bukan adalah sahabatnya
sendiri.
“Masa iya sih si Ata ngomong kayak
gitu, Tar ? lo gak salah denger ?” tanya Fio sambil menyeruput es jeruknya.
“Gue denger sendiri dia bilang kayak
gitu, kuping gue masih normal kali, Fi !!!” protes Tari sewot.
“Iya-iya maap dah, emm tapi lo udah
bilang ke kak Ari tentang ini ?”
“Nah itu masalahnya, si Ata itu gak
ngebolehin gue bilang ke kak Ari. Ih... kembar yang bener-bener ngeselin deh !”
“Siapa sih Tar, yang ngeselin ?”
suara berat yang begitu dikenal Tari dengan baik mendadak mengejutkannya,
saking kagetnya Tari sampai menoleh untuk memastikannya agar lebih jelas.
Tubuh jangkung nan menjulang Ridho
berdiri setengah membungkuk disisi kanan Tari sontak membuatnya tak berkutik.
Wajah yang nampak begitu dekat dengan wajahnya itu, kini menatapnya seolah-olah
menuntut penjelasan untuk kata-kata yang dilontarkannya tadi.
“Hei kok bengong ? terpesona sama
ketampanan gue ya ?!” ucap Ridho seraya menggoda Tari yang masih diam seribu
bahasa disampingnya. Mendengar perkataan Ridho, tak ayal membuat wajah Tari
memanas dan mungkin saat ini sudah menyaingi kepiting rebus.
Pede banget ni orang. Edan. Dumel Tari sambil menatap kesal pada kacung setia Ari yang
kini masih menatapnya dengan pandangan menggoda
“So...” celetuk Ridho lagi sukses
membuyarkan lamunannya.
“So,” Tari masih tak yakin mau
menjawab apa, matanya yang bulat jelalatan mencari alasan yang mungkin tanpa
disadarinya... “Emm... Kak Ari tuh yang ngeselin.” Jawab Tari spontan sambil
ditunjuknya Ari yang sedang menggoda Veronica and the gank di lapangan
seberang.
Ridho mengikuti arah pandang Tari, sesaat
alisnya saling bertaut kemudian terangkat sebelah dan senyum lebar tersungging
di wajahnya. “Lo serius, Tar, !? lo cemburu ya ?”
Belum sempat Tari menjawab, seruan
Ridho lagi-lagi mengejutkannya. “Ri, jangan godain mereka terus, ada yang gak
seneng ngelihatnya nih. Katanya, CEMBURRRUUU !!!” seruan Ridho melengking ke
seantero penjuru lapangan. Semua mata kini tertuju pada Ridho, kemudian beralih
pada sosok cewek imut dengan asesorisnya yang serba oranye dari ujung rambut
sampai ujung kaki yang sedang berdiri tanpa ekspresi di samping Ridho.
Tari pucat dan semakin pucat lagi
saat mengetahui Ari sedang berjalan menghampirinya dengan senyum kemenangan
yang tercetak jelas di matanya bukan di bibirnya. Tari melirik sekilas ke arah
Veronica and the gank terlebih lagi Veronica yang kini sedang menatapnya dengan
pandangan membunuh. Tari semakin lemas dibuatnya, bakal ada masalah
lagi nih. Gara-gara kacung tengil yang satu ini. huh ! Rutuk Tari
dalam hati.
Fio yang sedari tadi hanya diam kini
ikut cemas saat didapatinya wajah Tari yang semakin pucat. “Tar, ayo buruan
kabur.” Ajaknya sambil setengah menarik kemeja putih Tari. Tak ada reaksi, kali
ini Fio menyenggolnya sedikit lebih keras hingga membuat Tari menatapnya dengan
pandangan yang sulit di artikan.
“Siapa Dho, yang cemburu ?” pancing
Ari ketika sudah sampai dihadapan Tari, Ridho, dan Fio. Ridho enggan menjawab
karena dia tahu Ari hanya berbasa basi, sebagai jawaban yang cukup sederhana
alias simpel untuk menjawab pertannyaan Ari, Ridho hanya melirikkan matanya ke
arah Tari yang masih tertunduk.
“Apa bener Tar, yang dikatain sama
Ridho kalo elo, CEMBURU ?” adanya nada penekanan di kata terakhir semakin
membuat Tari merasa terpojok.
“Diem berarti iya, bos !” celetuk
Oji yang tahu-tahu sudah ada di sebelah Ridho.
Tari semakin tertunduk, pasalnya gak
hanya kelas 10 dan 11 saja yang ada di lapangan ini, melainkan juga ada
angkatan Ari dan juga astaga, VERONICA !
“Iyaaa... gue cemburu. Puas lo !!?” teriak Tari tak terduga bahkan Fio sempat
terkejut mendengarnya. “Yuk, Fi...” Tari setengah menarik lengan Fio supaya
menjauh atau bahkan menghilang saja dari sana untuk menuju ke tempat yang...
yaa setidaknya cukup untuk menetralkan emosi.
Gue
seneng ngelihat lo kayak gini, itu nunjukin perasaan lo yang sebenarnya
ke gue. Ari tersenyum menatap punggung yang semakin menjauh itu.
Mereka berdua berdiri dengan tubuh menempel rapat di dinding pembatas koridor
di depan gudang. Satu-satunya tempat favorit mereka sekaligus tempat yang aman
untuk membicarakan sesuatu yang bersifat rahasia dan juga aman dari jangkauan
Ari.
Tari bersedekap, kemudian mendongak menatap tanpa minat ke arah atap gedung
instansi negara yang berdiri kokoh di samping gedung sekolah mereka. Matanya
menerawang jauh entah kemana, dan wajah itu, wajah itu masih pucat. Ia berdiri
sedikit membungkuk di samping Fio yang sedari tadi hanya memperhatikannya tanpa
berani menegurnya.
“Gue tolol, kenapa tadi gue keceplosan ngomong kayak gitu didepan kak Ari
pula.” Tari memulai pembicaraan.
“Hah ?! emangnya lo tadi serius, Tar ?” Fio memandang Tari dengan kening
berkerut. “Lo beneran cemburu ? apa itu artinya lo bener-bener suka sama kak
Ari ?” tanya Fio pelan.
Tari memandang Fio dengan perasaan
campur aduk dan serba salah, “Gue juga gak tau, Fi, gue bingung dengan perasaan
gue ke dia akhir-akhir ini.”
“Jangan bilang kalo lo sukanya sejak lo ikut ngebuntutin kak Ari jemput mamanya
sama Ata di bandara waktu itu ?” selidik Fio.
“Mungkin,” jawab Tari sekenanya. Setelah itu mereka hanya berdiri diam, larut
dalam pikiran masing-masing.
Tubuh menjulang Ari berdiri rapat di dinding bawah koridor. Seseorang yang
sedang mereka bicarakan saat ini, tanpa sepengetahuan mereka telah mendengar
sebuah pengakuan singkat yang mampu membuat hatinya bergejolak senang. Tanpa
meninggalkan bunyi sedikitpun Ari berlalu meninggalkan tempat itu dengan senyum
yang semakin mengembang di bibirnya.
Tari gugup, ia memperhatikan bola basket yang berada tak jauh dari tempat
Veronica berdiri yang saat ini sedang menatapnya tajam. Tari menelan ludah
dengan susah payah, dengan sedikit kekuatan yang masih tersisa ia menghampiri
dan memungut bola itu.
“Permisi kak.” Katanya canggung, kemudian ia buru-buru berbalik ingin segera
menjauh dari tempat itu.
“Belagu banget lo jadi cewek !!” ejek Veronica membuat langkah kaki Tari
terhenti, ia membalikan tubuhnya menghadap Veronica dengan perasaan tak
menentu.
“Lo sadar gak sih, lo itu bagaikan debu kecil yang kebetulan aja nempel di baju
Ari. Sama sekali gak terlihat dan gak berharga. Lo paham kan maksud gue ?”
Veronica tersenyum sinis semakin memperlihatkan kepicikannya, cewek itu
meninggalkan Tari yang masih bergeming di tempatnya. Matanya buram oleh air
mata yang menyeruak ingin keluar, tetapi ia buru-buru mengusap matanya sebelum
air mata itu sempat terjatuh. Ia berbalik menuju kearah teman-teman sekelasnya,
tetapi langkahnya terhenti karena terhalangi oleh tubuh tinggi sang pentolan
sekolah.
“Meskipun elo kecil atau bahkan gak berharga sekalipun, gue akan selalu
memperhatikan elo, Tar,” Ari mengucapkan itu dengan sangat tulus, membuat Tari
luluh sejenak sampai ia tak menyadari kedua lengan kokoh itu mengurungnya
sangat erat kedalam hangat kedamaian tubuh itu. “Gue sayang elo.” Sambungnya
lirih. Benar-benar tak disangkanya, kali ini Tari tak berontak yang ada Tari
malah menangis di dalam pelukan itu.
Seorang anak kecil berusia sekitar 8 tahun dengan polosnya membuka dan
mengobrak-abrik isi laci kerja milik sang papa, tentu saja hal itu tak
diketahui papanya ataupun orang lain. Ia menarik selembar kertas yang sangat
menarik minatnya untuk membaca isinya. Dengan mengandalkan memori kecil, ia
mengingat tulisan yang tercetak dengan huruf besar 3 nama sekaligus : “MATAHARI
JINGGA, MATAHARI SENJA, JINGGA MATAHARI”. Yang terakhir begitu mirip dengan
namanya, begitu serupa, tetapi ia yakin yang dimaksud bukan dirinya.
Ari keluar dari halaman rumahnya lengkap dengan jaket dan helm hitamnya, ia
segera menaiki motor dan menstarternya. Bunyi raungan motor yang begitu berisik
dan sangat memekakan telinga terdengar hingga ke penjuru kompleks, tetapi Ari
cuek yang ada ia malah menggas motornya dengan kecepatan tinggi. Tanpa disadari
Ari, sebuah motor hitam lain mengikuti laju motor Ari dengan jarak yang begitu
terjaga. Lengkap dengan jaket dan helm warna hitam yang membungkus kepalanya
sehingga menyamarkan pemiliknya.
Motor yang dikendarai Ari menikung tajam di sebuah belokan setelah ia keluar
dari jalanan kompleks. Jalanan terlihat sepi, Ari menggas motornya semakin
gila-gilaan. Tiba-tiba dari arah samping kanan muncul sebuah motor hitam yang
memotong jalannya, Ari terbeliak kaget dan segera mengerem motornya. Ari nyaris
jatuh jika kakinya tak segera mengimbangi berat motor.
“Shit !” pekiknya ketika mengetahui siapa yang telah memotong jalannya.
“Apa kabar sobat lama ?,” sapa suara itu. “kaget ya ? maaf ya, tadi gue SENGAJA
!” tandasnya.
“Bangsat lo ! apa sih mau lo, hah !?”
“Mau gue, “ dia berhenti sejenak. “Balas dendam ke elo, bego !!”
“Emang salah gue apa sih ? gue bener-bener bingung sama jalan pikiran orang gak
waras kayak elo. Bener-bener gak ada bosennya cari gara-gara terus ke gue”
Tukas Ari tak mau kalah.
“Gue gak akan pernah bosen kalo itu menyangkut elo. Lo sekarang gak bisa
ngancem-ngancem gue karena pion lo, Gita, sekarang udah pindah dari sekolah
jahanam lo itu dan sekarang gue bebas mau bales dendam ke elo.”
Ari semakin panas mendengar makian
yang bertubi-tubi keluar dari mulut Angga. Dia tahu betul, Gita sepupu Angga,
telah pindah sekolah 2 hari yang lalu, jadi dia sama sekali tak terkejut
mendengarnya. Ari tersenyum sinis tidak dengan bibirnya saja, tetapi juga
dengan kedua matanya. “Silakan kalo itu membuat lo senang...”
Angga maju menghampiri Ari yang
tetap berdiri tenang disamping motornya yang dibiarkannya rebah di pinggir
jalan. Tangan kanannya terkepal erat, langkahnya semakin lebar ketika jarak
yang tersisa hanya tinggal beberapa meter saja dan Ari... tetap bergeming.
Tangan itu sudah melayang ke udara siap untuk memukul seseorang yang memang
sudah menjadi incarannya sejak dulu, Ari memejamkan kedua matanya masih dengan
sikap yang dibuat sesantai mungkin, hal itu semakin membuat Angga marah.
“Tunggu...!!!” teriakan seseorang mengejutkan keduanya, mereka sama-sama
berbalik untuk mengetahui pemilik suara itu. Mereka terkejut ketika melihat
sosok itu.
“Ata ?” ucap Ari nyaris berteriak saking terkejutnya. Sedangkan Angga hanya
diam sibuk dengan pikirannya sendiri. Ata, berdiri tenang dengan kedua
tangannya yang terlipat di depan dada.
“Iya ini gue, Bro,” Ata mengalihkan pandangannya kepada Angga yang tetap
berdiri didepan Ari. “Dia Ari adik gue, SODARA KEMBAR GUE. “ kata Ata tegas
saat mengatakan bahwa Ari adalah sodara kembarnya, tak disangka efeknya begitu
besar bagi Angga. Masih dengan senyum yang semakin tercetak lebar di bibirnya,
Ata kembali melanjutkan, “Lo salah kalo nyangka Ari adalah gue, lo salah kalo
musuhin Ari karena musuh lo yang sebenarnya adalah gue, MATAHARI JINGGA bukan
MATAHARI SENJA.” Jelasnya
“Maksud lo ?” tanya Ari sama sekali tak mengerti. Ia melirik ke arah Angga yang
masih mematung di tempatnya. Yang jelas Angga terlihat benar-benar terkejut.
“Jadi gini bro,” kata Ata menjelaskan. “Angga ngira lo itu gue, dia gak tau
kalo kita itu sebenarnya sodara. Seenaknya aja dia musuhin lo, gue gak bisa
terima itu karena lo adik gue!”
“Masalah yang sebenernya itu apa sih ?” Tanya Ari lagi masih belum ngeh.
Ata tersenyum datar. “Jadi gini
ceritanya, dia naksir sama seseorang yang juga gue taksir waktu itu dan gak
taunya tuh cewek juga naksir gue dan lebih milih gue dari pada dia. Asal lo
tau, Ri, cewek itu adalah...” Ata diam sesaat berusaha untuk menetralkan
emosinya. “Veronica !”
“Apa ?!!” Ari memandang kearah Ata dan Angga secara bergantian. “Jadi lo
sebelumnya udah kenal sama Vero ?” tanyanya pada Ata, yang ditanya hanya
mengangguk. “Pantesan aja tuh cewek selalu ngintilin gue, gak taunya kalo tuh
cewek pernah punya hubungan sama elo.” Kata Ari sedikit mengejek.
“Eittss jangan salah sangka dulu, gue gak ada hubungan apa-apa kok sama Vero.
Kita cuman sekedar naksir doang karena gue keburu pindah ke Malang sebelum
sempat merealisasi hubungan kita.” Ata berusaha menjelaskan semuanya sampai
detail, sedangkan Ari cuman manggut-manggut tanda mengerti.
Angga menatap Ari dan Ata tajam
tetapi hanya sesaat, setelah itu Angga meninggalkan keduanya tanpa berkomentar
apapun. Sepeninggal Angga, Ari dan Ata tersenyum lega. “Tumben tuh anak gak
nyolot sama kita, Kalo itu sampai terjadi kita habisin aja tuh anak”
“Kita ? lo aja kali, Ri, gue gak mau lagi berurusan sama si tengil satu itu.
Udah bosen gue, bagi gue cukup hanya sekali aja.” Kata Ata kalem. Ari meringis,
kemudian menghampiri Ata yang sedang bersusah payah membenarkan letak posisi
motor Ari yang rebah di pinggir jalan.
“Biar gue aja yang betulin, lo gak kebiasaan megang yang kayak beginian.”
Ata mendengus jengkel. “Yaudah ni
angkat sendiri !”
Tawa Ari meledak. “Hahaha... gitu
aja marah. Eh ngomong-ngomong kok lo bisa tau sih kalo gue lagi disini dalam
keadaan bahaya pula ?” tanya Ari di sela-sela tawanya.
“Feeling gue gak enak aja waktu itu.” Jawab Ata sekenanya. Ia tahu bahwa ia
sedang mengarang sebuah alasan saat ini karena apa yang di bicarakannya sama
sekali jauh dengan kenyataan yang sesungguhnya. Gue minta maaf, Ri,
karena gue udah gak jujur sama elo. Sebenernya tadi gue habis ketemu sama bokap
dan kebetulan aja gue ngelihat elo sama Angga disini.
“Kok bengong sih ! buruan naik, panas nih.” Gerutu Ari membuyarkan lamunan Ata.
“Gue aja yang bonceng. Minggir sana.”
Ari menaikkan sebelah alisnya.
“Emang lo bisa?”
Ata menoleh menghadap Ari yang
sedang menatapnya tak yakin. “Udah percaya sama gue. Cerewet amat sih lo jadi
orang. Sekarang mau kemana nih ?”
“Terserah, gue percaya sama elo.”
“Sip deh kalo gitu. Pegangan yang kenceng ya, ngebut nih.” Ata melajukan motor
hitam Ari dengan kecepatan yang benar-benar menyaingi kecepatan Ari.
“Sebenarnya gue punya salah apa sih sama lo, Ta ? kenapa lo jadi benci sama gue
?” tanya Tari suatu siang saat keduanya berada di tepi lapangan basket yang
kebetulan sedang sepi. Sejak kemarin Ata sudah resmi tercatat menjadi siswa
baru di SMA Airlangga. Berkat pertemuannya dengan papanya lusa lalu, ia
akhirnya bisa melanjutkan sekolahnya lagi. Tentunya papa sudah tahu-menahu soal
pertemuan Ari dengan Ata dan Mamanya seminggu yang lalu karena Ata sendiri yang
menceritakannya.
Ata tersenyum sekilas. “Gue
sebenernya gak ngebenci lo kok, Tar, gue cuman sakit hati aja sama elo. Asal lo
tau gue sama Ari jadi kayak gini itu gara-gara elo !”
“Gue gak ngerti maksud lo.” Kata Tari sambil menggeleng pelan, matanya mulai
buram oleh air mata.
“Biar waktu yang kasih tau jawabannya ke elo kalo memang udah waktunya elo
untuk tau yang sebenarnya. Untuk saat ini anggap aja kita gak pernah kenal dan
gue mohon sama elo jauhin Ari karena gue gak mau ngelihat hidup adik gue tambah
ancur.” Ata meninggalkan Tari menuju keruang kelasnya di sisi sebelah kiri
koridor tanpa sekalipun menoleh ke belakang lagi. Kata-kata Ata hanya
sederhana, tetapi sukses membuat Tari sedih dan semakin terpuruk.
Gue
bener-bener gak ngerti maksud lo, Ta, dan kalo lo nyuruh gue untuk ngejahuin
kak Ari gue beneran gak bisa. Karena gue udah terlanjur...
Tari melangkahkan kakinya tanpa minat. Urusannya dengan Ata semakin rumit dan
tak akan semudah membalikan telapak tangan untuk menyelesaikannya. Tari
menghembuskan napasnya, ia berharap ini cuman mimpi buruk dan segera hilang
ketika ia terjaga. Ketika mendekati pagar rumahnya Tari baru sadar didepan
rumahnya terparkir motor hitam yang begitu di kenalnya. Motor itu milik
Ari. Tumben kak Ari dateng ke rumah gak ngasih tau gue dulu.
Batinnya.
Tari melangkahkan kaki memasuki teras rumahnya, tetapi ia berhenti mendadak
saat mendengar pembicaraan Ari dan mamanya di ruang tamu. Tari menajamkan
pandangan matanya menembus kelambu untuk melihat bayangan mama dan Ari
yang sedang duduk di ruang tamu. Perhatiannya terpusat total pada
pembicaraan mereka berdua.
Ari terdiam, ia terlihat sedang
memikirkan sesuatu. Di tangan kanannya terlihat sebuah foto lama yang sudah
berwarna kekuningan dan sedikit lecek dibagian sudut-sudutnya. Dalam foto itu
terlihat 4 orang yang sedang tersenyum bahagia penuh cinta dan kasih,
kehangatan dalam foto yang diambil saat usia Ari menginjak 7 tahun itu masih
bisa dirasakannya walaupun samar. Ari tersenyum sekilas mengenang kejadian
dalam foto itu.
“Ana dan Alex, mereka berdua
adalah sahabat tante, Ri, waktu masih tinggal di desa. Kita sama-sama penggila
sunset terutama Alex, papamu. Tante sama mamamu sangat pintar menjahit, dan
sekarang kamu lihat sendiri kan mesin jahit yang ada di lemari kaca itu mirip
sekali dengan punya mamamu. Itu hadiah dari nenek Tari yang ada di desa, begitu
pula dengan mamamu karena sangat berbakat dalam urusan menjahit, nenekmu juga
memberinya sebuah mesin jahit,” Mama Tari terus menjelaskan sedangkan Ari hanya
mendengarkan penuh minat. “papa dan mamamu adalah orang-orang yang hebat,
mereka saling mencintai sejak duduk di bangku kelas 1 SMA. Hubungan mereka
sangat awet, tante aja sampai iri melihatnya, Gurau mama Tari.
“Tetapi hubungan mereka terlalu
bebas, sampai pada suatu hari mamamu ketahuan hamil, padahal waktu itu umurnya
masih sangat muda yaitu 19 tahun sedangkan papamu 20 tahun. Tante ikut prihatin
saat itu dan bingung harus melakukan apa untuk mereka. Untungnya papamu adalah
lelaki yang bertanggung jawab, ia mau menikahi Ana meskipun resikonya sangat
besar karena saat itu ia belum bekerja. Saat kehamilan Ana menginjak 5 bulan,
Ana dan Alex memutuskan untuk pergi ke Jakarta karena bagi mereka mencari
pekerjaan di Jakarta lebih mudah di bandingkan dengan di desa,
“Tante mendapat kabar bahwa mamamu
telah melahirkan anak kembar yang begitu lucu bernama Jingga dan Senja, bagi
tante itu adalah nama yang sangat unik, tetapi tante tau mengapa Ana dan Alex
menamai bayi mereka dengan nama itu. Tante juga mendapat kabar bahwa Alex sudah
mendapat pekerjaan bahkan termasuk dalam jajaran orang-orang penting di
perusahaannya, tante sangat bahagia mendengarnya. 1 tahun kemudian tante
menikah dengan papanya Tari, tante dan om juga memutuskan untuk merantau ke
Jakarta dengan alasan yang sama seperti orang tuamu. JINGGA MATAHARI, lahir
tepat pada tanggal dan bulan yang sama seperti si kembar identik Jingga dan
Senja, tetapi umur mereka berbeda 2 tahun. Sejak kelahiran Tari, Tante terlalu
sibuk mengurusi rumah tangga tante sehingga tante mulai kehilangan kontak
dengan orang tuamu sampai sekarang bahkan tentang perceraian orang tuamu tante
juga baru tau. Maafin tante ya, Ri.” Ucapa mama Tari tulus.
“Gak papa kok, Tan, Ari ngerti
kondisi tante waktu itu.” ucap Ari pelan, air matanya mulai mengalir di
pipinya, mama Tari menggeser tubuhnya mendekati Ari dan memeluknya untuk
sekedar menenangkan anak lelaki yang berada dalam pelukannya saat ini.
“Bahkan mungkin perceraian orang
tuamu karena disebabkan oleh tante,”
deg- jantung Ari serasa berhenti
berdetak. Apa maksud dari kata-kata nyokap Tari tadi ? tanyanya
dalam hati, kemudian terjawab semua apa yang menjadi beban pikiran Ari selama
ini, tentang sebab perceraian kedua orang tuanya.
“Tante melahirkan Geo saat umur Tari menginjak 5 tahun. Selang setahun kemudian
papa Tari meninggal, waktu itu tante sangat sedih dan bingung, bagaimana tidak
mengurus 2 orang anak yang masih kecil-kecil sedangkan pekerjaan tante hanyalah
seorang tukang jahit. Tiba-tiba uluran tangan papamu datang, tante gak tau
persisnya pertemuan itu seperti apa yang jelas saat itu Alex sedang menghadiri
undangan keluarga yang kebetulan juga tetangga tante. Mungkin Ana cemburu
karena Alex selalu memperhatikan tante dan anak-anak tante. Sekali lagi tante
minta maaf, Ri, tante beneran gak ada hubungan apa-apa dengan papamu.” Mama
Tari menyeka air matanya yang mulai turun. Ari hanya diam, menatap kosong pada
lembaran foto yang sedari tadi di genggamnya hingga bertambah lecek.
“Mama,” kata Tari mengejutkan keduanya. “Apa bener yang mama katakan tadi ?”
mama Tari hanya diam membisu. “Kenapa sih, ma, jadi seperti ini ceritanya ?”
lanjut Tari penuh emosi.
Ari berdiri berusaha menenangkan
Tari yang masih sangat shock. “Ini bukan salah nyokap lo, Tar, ini udah
takdir.”
“Maafin mama, Tar, mama gak bermaksud seperti itu.” kata mamanya sambil
berusaha meraih tubuh Tari, tetapi Tari menolaknya. Tari berlari keluar, untuk
saat ini hatinya benar-benar menangis. Ternyata semua gak sesuai dengan apa
yang diharapkannya selama ini. sementara di belakangnya, Ari terus mengejar
Tari yang masih berlari dengan kalapnya.
“Tar, tunggu !” teriak Ari. Saat mendengar teriakan tersebut kaki Tari mendadak
berhenti. Ari segera menyusul langkah Tari yang tinggal beberapa meter di
depannya. Dengan satu gerakan cepat Ari merengkuh tubuh kecil Tari ke dalam
pelukannya.
“Gue udah tau semuanya sekarang. Ternyata yang dimaksud Ata adalah ini, gue
bener-bener gak nyangka.” Ucap Tari lemah masih dengan sesenggukan dalam
pelukan Ari.
“Emang Ata ngomong apa aja ke elo ?”
“Ata gak ngomong apa-apa ke gue, tapi sepertinya dia emang udah tau rahasia
ini.”
“Tar, gue mohon ke elo, elo jangan marah ya ke nyokap lo. Nyokap lo gak
bermaksud seperti apa yang lo sangka.”
“Emang menurut kak Ari, gue nyangka nyokap gue seperti apa ?” tanya Tari sudah
mulai tenang.
“Gue kira... gue kira lo bakal nyalahin nyokap elo dengan ngatain kalo nyokap
lo itu perebut suami orang.” gumam Ari pelan sedikit salah tingkah.
“Sadis banget sih !” gerutu Tari tak terima.
“Emang, bahkan awalnya gue sempet ngira kalo kita itu sodaraan, tapi untungnya
gak jadi.”
“Kok bisa untung ?”
“Ya untunglah karena itu tandanya kalo gue masih punya kesempatan sama elo.”
“Ihh ! pede banget sih jadi orang, belum tentu juga gue mau sama kakak.”
Ari terdiam sesaat, kemudian ia
menundukan kepalanya mendekati kepala Tari. Tari hanya menatap kosong pada
wajah yang semakin dekat itu, satu kecupan Ari mendarat ringan di pipinya tanpa
bisa dicegah oleh Tari. Semburat warna merah menjalari pipi Tari, seluruh
tubuhnya bergetar hebat.
“Emang lo gak mau sama gue, hah ? tapi gue bakalan tetep maksa lo agar lo mau
sama gue.”
“Gak usah di paksa. Gue mau kok sama kakak.”
“Hah !? apa ?? gue gak denger, coba lo ngomong sekali lagi, siapa tau gue aja
yang salah nangkep maksud lo.” Ujar Ari sambil mendekatkan telinganya ke Tari.
“Dasar budek,” omel Tari. “Kak Ari, sebenernya aku SAAYANNGGG banget sama
kakakkk !” teriak Tari.
“Siiipp. Aku juga sayang sama kamu banget banget banget malah. Udah nih ?”
“Apanya ?”
“Kamu kan tadi ngambek, udahan kan ngambeknya ? ayoo buruan aku antar kamu
pulang, Kasihan tuh mama udah cemas.”
“Idiih... manggil mama segala, emang kakak siapanya ?”
“Calon menantunya.” Jawab Ari asal hingga membuat pipi Tari semakin memanas.
Hari ini Ari benar-benar bahagia tak disangkanya cinta yang dia pendam sejak
dulu akhirnya terbalaskan juga.
Dari kejauhan sepasang mata sedari
tadi sedang memperhatikan gerak-gerik mereka berdua. Bibir tipis itu kemudian
mengembangkan senyum sebelum akhirnya berlalu dari tempat
persembunyiannya. Gue rasa semuanya udah berakhir, Gumamnya.
Epilog...
Ana, Diana, dan Alex, 3 orang sahabat yang mempunyai hobby sama yaitu
menyaksikan matahari terbenam. Kegiatan Itu rupanya sudah menjadi rutinitas
mereka setiap sore harinya setelah pulang dari sekolah. Mereka rela meskipun
harus pulang terlambat yang penting bagi mereka bertiga adalah menjadi saksi
kebisuan bias jingga langit sore yang mengantarkan kepergiaan sang matahari ke
peraduannya. Itu saja.
Alex menyodorkan secarik kertas kepada Ana, sesaat Ana terlihat bingung namun
ia paham tentang maksud 2 patah kata yang ditulis Alex disana. Ana terlihat
sedang memikirkan sesuatu, kemudian ia tersenyum puas dan segera menuliskan
sesuatu diatas kertas itu.
Ana menyodorkan kertas itu pada Diana, Diana awalnya nampak bingung tetapi dia
akhirnya mengerti apa yang dimaksud oleh kedua sahabatnya itu.
“Sip !” kata Alex puas ketika ia menerima kembali kertas itu dari Diana dan
membacanya sekilas. “MATAHARI JINGGA, MATAHARI SENJA, JINGGA MATAHARI,
benar-benar nama yang bagus.”
“betul banget, Lex.” Teriak Ana senang.
“Nama ini akan dipakai kelak untuk nama anak kita masing-masing, kalian setuju ?!”
“Setuju !!” jawab Ana dan Diana bersamaan.
#TAMAT
2 Comments:
Subscribe to:
Posting Komentar (Atom)
thanxx :)